Rumah Kita yang Wangi

Kamis, 31 Mei 2012


Ini kisah belasan tahun lampau. Saat itu anak sulungku masih berusia tiga tahun. Aku mengalami kecelakaan yang mengharuskan aku mesti menginap sebulan lebih di rumah sakit dan selanjutnya masih harus menjalani rawat jalan selama berbulan-bulan lagi.

Dengan berbagai pertimbangan dan alasan, sepulangku dari rumah sakit, aku tidak pulang ke rumah, melainkan ke rumah kakak ipar, yang berupa sebuah ruko, di daerah pecinan. Rumah ini dipilih karena inilah rumah terdekat dari rumah sakit. Hal ini akan memudahkan aku untuk menjalani rawat jalan.


Sebuah ruko tentu saja tidak mempunyai halaman yang cukup. Ini sangat berbeda dengan rumah kami yang halamannya cukup luas, yang kutanami beberapa tumbuhan berkayu. Ada jambu air, jambu biji, belimbing, kuini dan satu pohon tanjung sebagai pohon pelindung.

Putra sulungku Fajar, yang biasa kami panggil Abang, adalah orang yang paling tidak betah tinggal di ruko tersebut. Pernah, satu sore sehabis mandi, aku melihat dia mengorek-korek debu di sisi pintu luar. Saat kutegur, ia menjawab, "Abang rindu tanah, Mak." jawabnya.

Ya, Fajar kecilku adalah anak yang aktif.
Sebelum tinggal di sini, kebiasaannya sehabis mandi sore adalah bermain di luar rumah. Banyak yang ia lakukan. Jika tidak bermain bersama teman-teman kecilnya, ia suka menyapa dan menyambangi tetangga depan rumah yang memiliki kolam kecil di depan rumahnya. Fajar betah di situ berlama-lama bersama pemilik rumah yang ia panggil 'Uak Hakim'. Atau ia cukup menemaniku menyapu halaman, sambil berceloteh, bertanya ini itu.

Perubahan keseharian ini rupanya sangat menekan Fajar. Ia kehilangan teman-temannya, kehilangan sorenya yang indah, dan kehilangan-kehilangan lain yang mungkin tidak aku sadari.

Hingga pada satu hari, seorang kakak datang menjengukku. Pada kakakku itu Fajar berucap, "Uak, Abang kepingin pulang. Abang rindu rumah Abang yang wangi."

Entah apa yang dirasakan kakakku saat mendengar ucapan Fajar itu. Saat menceritakannya kembali padaku, suaranya pelan dan dan tercekat. Mataku pun sontak berkaca-kaca. Terbayang betapa terkekangnya Fajar selama tinggal di ruko ini.


"Rumah Abang yang Wangi"
Sampai hari ini aku tidak tahu pasti mengapa Fajar menyebut rumah kami sebagai rumah yang wangi.
Aku cuma menduga-duga, kata wangi yang ia istilahkan adalah gambaran betapa rumah kecil kami adalah 'home sweet home' baginya.
Rumah di mana ia pertama kali mengenal cinta, menerima dan memberi cinta. Dari dan untuk orang tua dan lingkungannya.

Rumah yang wangi adalah rumah kecil kami yang hangat, yang selalu berbalur aroma cinta. Di rumah ini, Fajar mendapatkan segalanya.


Setelah mendengar cerita si kakak, aku makin tidak betah tinggal di ruko itu. Meski harus menjalani rawat jalan, kuputuskan untuk kami segera pulang ke rumah kami yang wangi.
Bagiku, tak mengapa merasakan kaki yang masih berdenyut sakit, karena mesti tergantung lama di boncengan sepeda motor, setiap kali menjalani rawat jalan, dari pada membiarkan Fajar merasakan sakit di jiwanya.

Meski saat ini kami tidak lagi tinggal di rumah wangi itu, karena pindah ke Tj. Morawa, aku tetap mengistilahkan  rumah kami sebagai 'Rumah Kita yang Wangi'



............................................
Tj. Morawa, 30 Mei 2012

"cinta ibu adalah pelabuhan
 cinta ibu adalah alasan untuk pulang...."

2 komentar:

Rumah Sahaja mengatakan...

aaahhh
Rumah yang wangi yang selalu dirindukan
.....
pasti disiram parfum yaa
hahahahahah

salam cinta penuh wewangian mba Wening

Tentu, akang. Parfumnya dari hati. Aromanya bernama cinta. :-)

Selamat malam akang, salam cinta kembali. :-)

Posting Komentar

 
 
 

Ruang Komentar

Bunga Kesayangan

Bunga Kesayangan

Popular Post

 
Copyright © Ruang-ruang Hati