Rabu, 13 Juni 2012
Sore tadi, aku yang sedang berada di rumah kakakku di Sipirok, diajak
untuk melihat kebunnya di desa Pasar Matanggor, kurang lebih 35 km dari
rumahnya.
Dari kejauhan mataku sudah tertarik melihat mangkuk-mangkuk pelastik
berwarna merah, penampung getah karet, yang berjajar rapi di
batang-batang pohon karet. Kudekati untuk melihat isinya.
Sejuk udara di bawahnya dan getah yang sudah terkumpul, mengingatkanku pada satu masa, di masa kecilku.
Saat itu aku masih kelas empat SD, baru pindah sekolah. Di sekolah baru
ini aku mendapat kelas sore. Pergi dan pulang sekolah, aku lebih suka
melintasi kebun karet daripada mesti lewat jalan besar. Selain lebih
sejuk, juga untuk mencari jamur yang tumbuh liar di bawahnya.
Selain aku, banyak teman lain yang suka juga memilih jalan ini. Salah seorang temanku itu bernama Cornelius.
Cornelius terkenal sebagai anak yang nakal dan pemalas. Penampilannya
kucel dan awut-awutan. Satu yang menarik perhatianku adalah sudut-sudut
bibirnya yang memutih, seperti ruam panas dalam.
Entah apa sebabnya, Cornelius sangat membenci aku. Mungkin sebagai anak
baru, Cornell, begitu ia biasa dipanggil, menyangka aku sombong.
Setiap kali bertemu di jalan, atau memang dia sengaja menunggu, Cornell
suka mengolok-olokku dengan kata-kata yang menghinakan, dan bagi Cornell
bicara kotor adalah hal yang biasa.
Karena penampilan dan mulutnya yang carut, Cornell hampir tak punya teman. Semua teman menjauhi dan membencinya.
Sebagai anak yang tidak biasa mendengar 'bahasa' Cornell dan juga
wajahnya yang 'ngeri', pun ditambah sikapnya yang memusuhi, aku sangat
takut padanya. Aku berusaha menghindarinya, namun makin kuhindari,
Cornell makin menjadi-jadi.
Hingga pada suatu hari, saat menuju sekolah, kulihat Cornell sudah
menungguku. Sebelum ia sempat 'bernyanyi', dengan memberanikan diri,
kusapa ia terlebih dahulu. Tak kusangka Cornell terkejut. Ini terlihat
dari ekspresi wajahnya. Ia memelankan langkahnya menungguku
mengiringinya.
Mungkin karena tak menyangka akan sikapku, Cornell diam saja, namun ia
tetap melambatkan langkahnya, berusaha menyelaraskan dengan langkahku.
Dalam perjalanan itu, aku lebih banyak diam, karena takut, dalam hati aku berharap semoga cepat sampai di sekolah.
Besok-besoknya, Cornell sering menungguku, tapi tak pernah lagi dia
mengejekku. Meskipun masih agak takut, aku mulai biasa jalan bareng
dengannya menuju sekolah.
Sekali waktu, saat jalan bersama, Cornell mengakui bahwa aku tidak
sombong seperti yang ia sangka semula. Ia juga bercerita bahwa ia tidak
suka dengan banyak teman lain, terutama teman perempuan, karena
menurutnya teman-teman perempuan suka mencacinya sebagai orang miskin
dan anak yang bodoh.
"Kau juara satu sekarang di kelas kita tapi kau tak mengejekku sebagai
anak bodoh.", katanya, sambil melambung-lambungkan bola karet di
tangannya. Bola itu, aku tahu ia buat sendiri dari getah karet. Bola itu
juga yang selalu dia gunakan buat melempar aku atau teman lain, jika ia
marah.
"Siapa bilang kau bodoh. Buktinya itu, bola karet itu.", kataku. "Engkau bisa membuatnya."
"Oh, ini. Siapa pun bisa membuatnya. Lempeng karet yang agak kering
tinggal ditiup. Terus dibalut dengan getah karet yang halus seperti
tali.", jawabnya.
"Aku tidak bisa!", balasku.
Ia menatapku. Kulihat ada sinar kegembiraan di matanya.
Demikian hari terus berganti. Satu hari Cornell tak menungguku. Aku
pikir penyakit malas sekolahnya kumat lagi, hingga ia tak sekolah.
Aku rupanya salah. Beberapa saat sebelum lonceng masuk berbunyi, kulihat
Cornell datang. Di tangannya ada dua buah bola karet yang tidak sama
ukurannya. Segera ia menujuku, "Ini untukmu.", katanya sambil
mengangsurkan bola-bola itu. Kuterima pemberiannya dengan senang hati.
"Makasih, ya....", kataku sambil menatapnya.
"Ia....", jawabnya tulus.
Sejak itu aku tidak takut lagi pada Cornell. Sampai tamat SD, dia adalah
temanku yang baik dan setia. Mulutnya pun tidak carut lagi. Aku
menyadari, sebenarnya Cornell lembut hati.
Setelah remaja, aku masih sering teringat kisah persahabatanku dengan
Cornell. Dari orang yang paling kubenci dan kutakuti, ia menjelma
menjadi sahabat yang melindungi.
Aku menyadari sikap kasar dan memusuhi yang ditunjukkan Cornell adalah
keinginannya untuk diakui. Dia marah saat merasa dikucilkan dan
diremehkan. Begitu dia merasa 'dimanusiakan', nilai-nilai kemanusiaannya
muncul.
Dari pengalaman ini aku banyak belajar. Manusia, seburuk apapun dia,
sepapa apapun dia tetap ingin diakui eksistensinya sebagai manusia.
Butuh dihargai.
Aku tak tahu di mana Cornell sekarang berada, tetapi sekali lagi, aku
ingin berterima kasih padanya. Pengalaman bersamanya sangat berharga dan
berarti buatku sampai saat ini.
Semoga saja satu hari nanti, Cornellius Siahaan membaca tulisanku ini.
Ia pasti tersenyum. Senyum bahagia tanpa ruam putih lagi di sudut-sudut bibirnya.
Sipirok, 09/06/2012
About Me
Pola hidup dan pola pikir kita sekarang, akan sangat menentukan keadaan kita di masa datang. Harta, keangkuhan, keegoisan dan kesombongan, bila tak pandai mengelolanya hanya akan semakin merendahkan diri kita sendiri , Mari kita memanfaatkan waktu seefisien mungkin untuk kebaikan, jangan sampai kita menyadarinya di batas kemampuan. Sebuah renungan dari seorang sahabat...Baca...
Ruang Renungan
Ruang Sehat
Buku Tamu
Sahabatku Cornelius
Diposting oleh Sokanindya Pratiwi Wening di 6/13/2012 08:21:00 AM
Label: Catatan Sokanindya Pratiwi Wening, Cornelius Siahaan, Kisah Kecilku, Pasar Matanggor, Persahabatan, Ruang Kenangan, Sahabat, Sahabat SD, Sipirok
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar